Pendidikan Karakter, Hal Mendasar Dalam Dunia Pendidikan

Oleh Mathias Henrickus Dwiatmoko, Sekretaris Yayasan Yohanes Paulus

ADA yang menarik sekaligus menggelitik pada Upacara Peringatan Kemerdekaan negara kita yang ke-79 di halaman sekolah, Sabtu lalu (17/8/2024). Ketua Pembina kita, Bapak Pius Sani Herin menyampaikan tentang Pendidikan Karakter yang mesti nampak kuat sebagai hasil dari pendidikan di sekolah kita, St. Theresia.

Ketertarikan itu lantas menggelitikku untuk membuat serial tulisan mengenai hal yang mendasar dalam dunia pendidikan tersebut. Pendek-pendek saja supaya tidak membosankan. Niatnya sih setiap pagi, juga bersifat ringan karena semata berangkat dari pengalaman. Bukan dari bangku sekolahan.

Pendidikan Karakter

“It is not our weakness that frighten us. It’s our strengths” (Nelson Mandela).

Apakah kita sempurna? Kesempurnaan itu hanya milik Allah. Faktanya, kemungkinan besar tak ada dua orang yang dapat sepakat mengenai apa yang dimaksud dengan sempurna. Meski kita tidak sempurna, kita adalah pribadi yang unik dan mengagumkan dengan banyak kekuatan. Karakter positif, maksud saya. Kita tentu memiliki karakter lain yang, boleh jadi, belum sepenuhnya ditemukan dan dikembangkan.

Jika kita dapat melihat betapa hebatnya kita, maka kita dapat mengatur napas. Seperti kucing yang mengubur tulang agar tak ada hewan lain yang dapat menemukannya, kita mungkin sedang menyembunyikan kebenaran. Betapa luar biasanya kita yang takut kehilangan karakter, atau kuatir akan apa yang dipikirkan atau dikatakan orang tentang diri kita. Kita mungkin kuatir akan apa yang dipikirkan atau dikatakan orang lain tentang diri kita.

Kita mungkin kuatir tidak dapat memenuhi kekuatan yang kita tau (atau duga) dimiliki atau yang orang lain inginkan/harapkan dari kita. Karakter positif adalah sesuatu yang kita dapat dan mesti kembangkan. Terdapat sejumlah karakter yang oleh setiap anggota komunitas/masyarakat perlu miliki.

Orang tidak selalu sepakat tentang karakter-karakter mana yang perlu dimiliki dalam sebuah komunitas/masyarakat. Tetapi sebagian besar kita tentu sepakat bahwa karakter-karakter tertentu ini perlu dimiliki: love or caring, respect for life, honesty or trustworthyness, responsibility, justice and fairness. Di mana-mana di seluruh jagat, karakter didefinisikan sebagai nilai-nilai yang juga mencakup pemikiran, seperti kebebasan (freedom) dan kesatuan (unity).

Kita dapat memilih apakah ingin makan popcorn atau es buah, apakah akan main basket atau musik, apakah ingin menjadi Pastor atau Guru. Kita bisa memilih apakah akan bersikap ramah, atau pemarah. Namun, dalam kebanyakan budaya, kita tidak dapat memilih apakah akan bersikap jujur atau tidak jujur. Kita tidak dapat memilih apakah akan menghormati kehidupan atau tidak. Apakah akan injak rem atau tidak manakala lampu lalu lintas menyala merah. Tidak ada pilihan.

Mengapa demikian?

Sebab sejarah sudah memperlihatkan bahwa masyarakat cenderung menghancurkan dirinya sendiri ketika orang tidak memiliki karakter inti yang positif.

History fails to record a single precedent in which nations subject to moral decay have not past into political and economic decline. There has been either spiritual awakening to overcome the moral lapse, or a progressive deterioration leading to ultimate national disaster” (Jenderal Mc Arthur). Sejarah mencatat tidak satupun negara yang mengalami kerusakan moral tidak mengalami kerusakan politik dan ekonomi. Telah terjadi kebangkitan spiritual untuk mengatasi kemerosotan moral, atau kemerosotan progresif yang berujung pada bencana nasional.

Sederhananya, setiap bangsa yang mengalami kerusakan moral, tanpa perubahan, akan menghadapi bencana. Karakter positif itu baik bagi bangsa, keluarga, termasuk kita semua.

Jika kita menduga bahwa kita memiliki sejumlah kelemahan (karakter negatif), itu normal. Kelemahan-kelemahan kita (mungkin) justru sesungguhnya adalah kekuatan yang (masih) tertidur. Dan itu dapat diubah.

Mengembangkan karakter positif, tentu saja, tidak dilakukan dalam ruang hampa dan sendirian. Karakter kita terkait suara hati, keyakinan moral, pengalaman pribadi dalam relasi dengan keluarga dan masyarakat, semuanya berkelindan satu sama lain. Mengembangkan karakter positif berarti kita menghormati bukan saja diri sendiri, melainkan juga sesama serta Sang Pencipta. Kita menemukan nilai-nilai dalam perjalanan hidup sehingga hidup itu sendiri adalah Guru yang terbaik.

What do we stand for? Apa yang kita upayakan? Beberapa orang menginspirasi rasa hormat dan kekaguman, kesetiaan dan kepercayaan. Orang lain mengagumi mereka dan ingin menjadi seperti mereka. Coba tebak, apa itu? Kita bisa menjadi seperti itu. Bahkan boleh jadi kita sudah seperti itu. Orangtua, para Guru, sudah membimbing dengan baik.

Seyakin-yakinnya, kita semua ingin menjadi pribadi yang berkarakter. Kita mampu membangun karakter positif.

Nilai-nilai inti yang hendak kita bangun, secara garis besar mencakup caring (peduli), integritas dan respek. Ketiga karakter ini merupakan representasi hubungan kita dengan sesama, dengan diri sendiri dan dengan lingkungan sekitar. Mengapa demikian? Sebab moralitas merupakan perwujudan relasi.

Pendidikan karakter dan iklim sekolah

Pendidikan karakter tidak cukup hanya mengandalkan sebuah program kurikulum pendidikan karakter. Pendidikan karakter mesti bersifat komprehensif: mendayagunakan semua aspek persekolahan: contoh dari Guru, kebijakan disiplin sekolah, kurikulum (termasuk tentang miras, narkoba dan pendidikan seksualitas), proses instruksional, penilaian pembelajaran, hubungan dengan orangtua, dsb – sebagai peluang-peluang untuk pembangunan karakter.

Pembangunan pendidikan karakter yang “stand alone” (berdiri sendiri) dapat bermanfaat pada tahap awal atau dapat membantu upaya lebih lanjut; akan tetapi jangan dianggap sebagai pengganti pendekatan yang holistik yang dapat mengintegrasikan pembangunan karakter ke dalam setiap aspek kehidupan sekolah.

Nilai-nilai karakter pertama-tama mesti menjadi komitmen sekolah. Sekolah itu sendiri harus menjadi perwujudan karakter yang baik. Sekolah harus tumbuh menjadi mikrokosmos (micro-society) dari masyarakat, cikal-bakal masyarakat yang lebih luas (macro-society) atau bangsa. Sekolah dapat melakukan hal ini dengan menjadikan dirinya sebagai komunitas moral yang dapat membantu siswa untuk membentuk karakter yang baik dalam relasinya dengan sesama. Relasi yang baik akan menumbuhkan hasrat untuk belajar dan hasrat untuk menjadi orang yang baik. Semua peserta didik dan pendidik (termasuk orangtua) perlu memiliki sense of belonging dari sebuah komunitas. Jika kebutuhan ini terpenuhi, akan lebih mudah bagi mereka (para siswa) untuk menginternalisasikan nilai-nilai yang baik. Rutinitas sekolah dan kelas dalam keseharian serta berbagai aspek lain dari lingkungan sekolah harus diresapi oleh nilai-nilai inti karakter yang baik tersebut.

Pendidikan karakter juga harus didukung oleh kesempatan untuk mengaktualisasikan aksi moral. Dalam ranah etika, seperti juga dalam ranah intelektual, siswa adalah pembelajar yang membentuk sendiri pengetahuannya (constructive learners). Mereka belajar melalui apa yang mereka lakukan (learning by doing). Untuk mengembangkan karakter yang baik, mereka memerlukan kesempatan yang beragam untuk menerapkan nilai-nilai inti tersebut dalam interaksi keseharian. Melalui pergumulan dengan tantangan hidup yang nyata, siswa dapat mengembangkan pemahaman praktis mengenai, misalnya, sikap adil, hormat, bertanggungjawab, dsb.

Kita tidak selalu dapat mengandaikan bahwa siswa mengetahui apa makna dari setiap karakter, atau bagaimana mereka dapat menunjukkan dengan contoh kongkret dalam kehidupan. Itu sebabnya diperlukan bimbingan yang terprogram/terencana.

Bagaimana caranya?

Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan mengajak siswa mencari sendiri (searching/browsing) makna/definisi dari setiap karakter. Bisa lewat kamus, mempelajari tokoh- tokoh yang menerapkan karakter-karakter tersebut dalam hidupnya (role model, tokoh identifikasi), menanyakan kepada keluarga atau teman tentang makna kata tsb bagi mereka dan memperhatikan karakter-karakter yang hidup di lingkungan mereka sehari-hari. Kedatangan sejumlah siswa SD kemarin siang (juga SMP sebelumnya) ke kantor YYPD untuk berwawancara (dalam konteks P-5), misalnya, merupakan salah satu perwujudan juga.

Setelah pencarian dilakukan, langkah berikutnya adalah melakukan pembahasan lebih lanjutan dengan memberikan pojok-pojok gagasan. Selalu harus ditegaskan kepada siswa bahwa belajar berarti membaca, meneliti dan berpikir. Refleksi (perenungan) hampir selalu menjadi bagian/seni yang hilang dalam proses pendidikan dewasa ini. Hal yang sama dapat dikatakan dalam proses berpikir. Banyak siswa lebih suka mencari jalan pintas/gampang. Akibatnya, pendidikan menjadi di bawah standar. Jarang sekali siswa menyadari bahwa mereka .dlakukan kecurangan tatkala menyontek, misalnya. Sampai di sini, saya jadi ingat pesan KaSek SD saat upacara Hari Pramuka batu-batu ini. Maka penting untuk mengajarkan kepada anak-anak tentang bagaimana belajar. Sekali mereka menguasainya maka dunia dunia pinter Ika lebar bagi mereka

Nah, setelah diberi waktu untuk berpikir, kemudian minta kepada siswa untuk mengambil pensil dan menuliskan definisi setiap karakter. Setelah selesai menuliskannya, ajak mereka mendiskusikannya bersama-sama.ini akan membantu mereka untuk memperbaiki apa yang mereka pikirkan/rumuskan. Begitu masing-masing siswa sudah mantap dengan draft final mengenai definisi karakter, dorong mereka untuk menggabungkannya ke dalam definisi mereka sendiri.

Contoh:
Respek:
– memperlakukan orang lain sebagaimana kita ingin diperlakukan.

Fairness:
– menunggu giliran (antre)

Tanggungjawab:
– mengerjakan pekerjaan rumah
– membersihkan ruang kelas, dst….

Tujuan dan Sasaran

Pendidikan karakter bertujuan untuk mengembangkan motivasi intrinsik dalam diri siswa. Ketika siswa mengembangkan karakter yang baik, mereka mengembangkan komitmen batin untuk melakukan keputusan/perintah moral yang dianggap benar. Sekolah, terutama dalam pendekatan disiplin, harus berupaya mengembangkan komitmen intrinsik terhadap nilai-nilai inti. Sekolah mesti meminimalisir ketergantungan pada ganjaran dan hukuman ekstrinsik, yang dapat mengalihkan perhatian siswa dari alasan yang sebenarnyakepada tanggungjawab perilaku. Sanksivatas pelanggaran aturan-aturan harus memberikan kepada mereka kesempatan untuk restitusi (silih) dan meningkatkan pemahaman mereka akan peraturan dan kemauan untuk taat di waktu yang akan datang.

Untuk menumbuhkan motivasi intrinsik dan internalisasi nilai-nilai inti,proses pembelajaran pendidika karakter harus melibatkan tiga ranah kemampuan manusia: kognitif, afektif dan psikomotor. Untuk memupuk karakter yang baik dalam ndiri siswa, sangat penting penguasaan pengetahuan, sikap dan keterampilan (moral knowing, moral feeling & moral action). Inilah, saya kira, yang dimaksud Ketua Pembina YYPD ketika beliau menyatakan: “….
berbuatlah sesuai dengan apa yang kita tahu….” saat menjadi Pembina Upacara pada peringatan 79tahun kemerdekaan Indonesia di halaman sekolah kita tempo hari.

Refleksi (Pokok-pokok Pemikiran)

“Someone got to go out there and love people and show it (Diana, Princess of Wales): Seseorang mesti pergi ke luar sana, mencintai dan memperlihatkannya).
Benyamin Franklin mengembangkan kompor yang kini disebut Kompor Franklin dan masih diproduksi hingga kini. Suatu ketika, dia diberi hak paten atas penemuannya yang akan memberikannya banyak uang karena hak monopoli itu. Tapi apa yang dilakukannya? Ia malah membuat brosur yang mengajarkan bagaimana membuat kompor itu sehingga para pandai besi dapat membuatnya sendiri.

Menjangkau orang lain membuat hidup menjadi bermakna. Apa yang hebat dari tindakan ini? Semakin kita memberi, se.akin kita menerima. Deepak Chopra berkata,tatkala kita melayani orang lain maka kita akan mendapatkan lebih banyak. Seorang Guru Agung mengatakan, erikanlah dengan cuma-cuma maka engkau akan mendapatkan berlipat ganda. Jika kita memberikan hal-hal yang baik, hal-hal yang baik akan mengalir kepada kita.

Mungkin kita berpikir: “Itu keliru.” Saya memberikan seratus ribu kepada seorang teman, misalnya, saya lalu berharap mendapatkannya kembali. Penting untuk memahami, ketika kita memberi dan berbagi, kita tidak akan selalu dibayar dengan hal yang sama. Tetapi dalam jangka panjang kita akan menarik cinta, respek dan kemurahan hati orang lain. Kita akan menjadi magnet untuk pikiran-pikiran dan perbuatan-perbuatan positif.

Bila kita benar-benar peduli terhadap orang lain, tidak ada embel-embel (syarat). Kita tidak mengharapkan sesuatu sebagai imbalan atas pemberian atau pelayanan kita. Kita melayani tanpa keengganan,melainkan dengan tulus. Kita melakukannya dengan hati terbuka dan bebas. Kita tidak membiarkan keraguan, rasa takut atau penolakan menghambat kita. Kepedulian, memang, terkadang, menuntut keberanian.

Kepedulian yang sesungguhnya itu tanpa syarat. Apabila kita sungguh mencintai, kita tidak berpikir apa untungnya bagi saya.

Ibu Teresa dari Kalkuta, India, menghabiskan hidupnya untuk mencintai mereka yang membutuhkan. Ia menyelamatkan banyak anak dengan tanpa lelah, membersihkan dan membelai anggota tubuh yang lemah dan kurang gizi oleh karena kemiskinan. Sentuhan manusiawi melepaskan “kimia” dalam tubuhnya dan membantu mereka menjadi sembuh.

Peristiwa tsunami Aceh ( akhir Desember 2004) telah menimbulkan banyak korban jiwa yang memilukan. Lalu warga seluruh dunia tergerak hati ya untuk memberikan bantuan. Itulah bentuk kepedulian kasih, yang oleh St. Paulus disebut sebagai keutamaan terbesar: Kasih.

Menjadi orang yang peduli berarti sensitif terhadap keadaan sesama. Orang yang peduli senantiasa mempertimbangkan dampak tindakannya terhadap orang lain. Orang yang peduli, karena itu, dapat mengubah dunia.

Anak-anakaa utuh melihat keutamaan-keutamaan dan perilaku positif dalam bentuk keteladanan. Mereka membutuhkan gambaran yang jelas mengenai keutamaan atau karakter seperti itu.

Anak-anak dapat berlaku kejam satu sama lain. Mengganggu teman dengan mengatakan iseng atau bercanda, misalnya, sering kita jumpai. Menanamkan kindness sangat penting untuk mencegah bullying (perundungan). Kindness merupakan karakter yang menjadi dasar untuk semua kebaikan. Kindness dapat ditunjukkan dengan sikap bersahabat, kemauan untuk membantu, sikap gentle dan empati. Menunjukkan sikap kindness dapat mengembangkan kualitas hidup. Kebaikan yang kita perlihatkan kepada orang lain akan memantul kembali ke diri kita.

Ada banyak cara untuk menunjukkan rasa peduli, berbagi dan melayani sesama:

Dengan Tindakan.
Kita dapat mengungkapkan kepedulian dengan, misalnya, merapikan tempat tidur, menyapu halaman, membukakan pintu bagi orang lanjut usia, menghabiskan waktu untuk mendengarkan seseorang yang kesepian, dsb. Jadilah penolong yang baik hati bagi mereka yang membutuhkan.

Dengan kata-kata.
Mengatakan hal-hal baik kepada danbtentang orang lain. Memberikan nasihat dan empati, dsb. Terkadang perkataan yang terbaik adalah justru yang tidak terucapkan. Jangan menyebar gosip, rumor, cerita kejam, meski itu benar sekalipun.

Dengan pikiran.
Pikiran positif dan doa dapat sangat berdaya. Kita dapat melakukan kebaikan untuk orang lain hanya dengan berpikir baik)positif tentang orang itu. Nampaknya ini sulit dilakukan, apalagi untuk pertama kali. Lebih mudah memerintahkan tangan untuk memberikan sesuatu benda daripada memerintahkan diri untuk mengatakan, misalnya: “Meskipun ia lebih baik dalam syuting bola basket daripada saya, tetapi dia tidak sombong dan saya suka kepadanya.” Orang lain akan merasakan pikiran positif yang kita kirimkan kepadanya.

Dengan pemberian.
Berikanlah, misalnya, sekotak nasi kepada gelandangan atau coklat kepada teman. Jangan membatasi pemberian itu hanya pada hari-hari istimewa saja (ulang tahun, hari keagamaan, dsb). Atau berdasarkan suasana hati (mood) belaka.

Mari lihat sekitar. Kita akan menemukan banyak kesempatan untuk memberi dan melayani. Pikirkan tentang saudara, kerabat, teman, tetangga, lingkungan masyarakat, serta dunia. Bagaimana kita menggunakan keterampilan, keahlian dan pengalaman untuk meningkatkan kehidupan orang lain? Bagaimana kita dapat membantu sesama untuk juga berkembang, tumbuh dan menjadi mandiri?

Kadang kepedulian menuntut pengorbanan. Apakah itu talenta, energi waktu, uang atau bahkan mungkin nyawa.

If every American donated 5 hours a week, it equal the labor of 20 million full-time volunteer” (Whoopi Goldberg).

Seorang anak lelaki yang kakak perempuannya mengalami cedera serius dalam kecelakaan mobil, memiliki golongan darah dengan rhesus yang jarang. Padahal kakaknya membutuhkan donor segera. Dokter bertanya kepad anak itu apa dia bersedia mendonorkan darahnya bagi kakak perempuannya. Anak lelaki itu langsung pucat, ragu, sebelum akhirnya dia menganggukkan kepala tanda setuju. Setelah mendonorkan darahnya, ia memandang ibunya dan bertanya dengan wajah penuh cemas: “Berapa lama lagi aku bisa hidup?”

Jika semua orang ikut serta, apa masalahnya? Jika kita mengalihkan perhatian dan masalah kita dan fokus membantu orang lain, masalah kita sendiri sepertinya menjadi tidak lagi terlalu serius atau menakutkan. Jika kita menggunakan talenta dan kemampuan unik kita untuk melakukan kebaikan bagi orang lain, kita akan menemukan kegembiraan, inspirasi dan kepuasan dalam hidup. Kita menjadi bahagia.

“I found the paradox that if I love until itu hearts, then there is no hurt, but only more love” (Mother Teresa).

Sebagai penutup, ijinkan saya menyampaikan satu hal ini:

If we loose our money, we loose nothing. If we loose our health, we loose something. But if we loose our character, we loose everything.*

 

Tinggalkan Balasan

three × five =